COMMITMENT

Kata-kata ini sering kita dengar, terutama pada saat forum diskusi atau pertemuan yang membahas program-program kerja dalam sebuah organisasi. Komitmen, cuma satu kata tapi bermakna luas, bagaimana tidak, karena tanpa satu kata ini segala sesuatu yang menjadi tujuan akan menjadi kandas ditengah jalan. Sebuah organisasi dikatakan sudah mulai tidak efektif jika, beberapa karyawan sudah tidak lagi ingin kompak satu sama lain. Betapa tidak untuk mendorong karyawan agar mau terlibat dalam kegiatan atau meeting yang tidak langsung berdampak ke pekerjaan, seperti kegiatan health and safety, 5R atau 5S, kemudian acara kerohanian, dan lain-lain, harus dipaksa, bahkan ditakut-takuti misalnya dengan absensi kehadiran. Padahal kegiatan-kegiatan tersebut memberikan dampak positip bagi para individu. Disinilah sesungguhnya kita bisa menyaksikan ketidak efektifan sebuah organisasi. Karena terhambatnya informasi yang mengalir dari atas (pucuk pimpinan) sampai ke bawah, atau bahkan dari pucuk pimpinan itu sendiri yang tidak menginginkan hal ini mengalir.
Banyak sekali ribut-ribut diperusahaan yang diakhiri dengan komentar, “padahal ini cuma masalah komunikasi”. Kita banyak lupa bahwa tidak efektifnya komunikasi merupakan “dosa” manajemen yang sangat besar. Dampak lain dari ketidak efektifan adalah karyawan tidak terkoneksi dengan misi perusahaan, merasa “tertinggal dalam gelap” dan tidak memahami bagaimana berpartisipasi dan melibatkan diri. Tidak efektifnya komunikasi ini, dalam keadaan parah tidak bisa terdeteksi lagi. Semua rencana dan tindakan hanya bersifat mengambang. Disinilah kita perlu waspada terhadap matinya spirit perusahaan atau lembaga karena sakitnya komitment.
Dari Komtiment ke Laba Perusahaan
Sudah tidak zamannya lagi orang menomorduakan komitment karyawan didalam pertimbangan pengembangan organisasi, karena jelas-jelas komitment karyawan sudah menjadi daya saing usaha utama dalam bisnis. Banyak juga ditemui karyawan yang komitmennya normative. Mereka hanya melakukan segala sesuatu yang diperintahkan organisasi, walaupun tindakan tersebut belum tentu sesuai dengan keinginan pribadinya. Untuk itulah dibutuhkan peran perusahaan untuk memancing  sebanyak-banyaknya komitmen afektif, dimana passion dan kesungguhan individu untuk berkontribusi, mengkompakan diri berlandaskan kesamaan pemikiran, sasaran dan idealisme profesinya dengan perusahaan. Komitmen sampai level afektif dan passion ini tentunya tidak didapatkan secara gratis karena sesungguhnya bermula dari kemudahan, konsistensi dan kejelasan system dan prosedur di perusahaan. Kejelasan aturan main menjadikan karyawan bisa mengandalkan dan berpegang pada aturan. Dalam perkembangannya, karyawan jadi bisa tahu dimana, ia bisa “ikut bermain” dan menikmati pekerjaanya, bahkan memperbaiki kinerjanya dari waktu ke waktu. Hanya dalam tingkatan inilah komitmen karyawan perusahaan bisa terasa oleh pelanggan, sehingga pada akhirnya pelanggan pun komit untuk berbisnis dengan perusahaan. Bila sudah mencapai tingkatan ini, perusahaan baru bisa mengeruk keuntungan bermodalkan komitmen karyawan.
Komitmen : Penyatuan Risiko dengan Tindakan
Menurut para ahli, komitment sangat berbeda dari janji atau sekedar pelaksanaan kewajiban. Kewajiban berasal dari otoritas eksternal , sementara komitmen berasal dari dalam diri seseorang. Selain itu komitmen mengandung bobot yang jauh lebih tinggi, karena berkomit berarti menyadari dan bersedia menerima resiko tindakan yang sudah diputuskan untuk diambil oleh individu. Seorang pimpinan yang sudah berkomitmen untuk mencapai level KPI (key performance indicator) tertentu, akan serta merta mengerahkan segala upaya untuk mencapainya. Tentunya ada resiko ia tidak di sukai oleh anak buah, karena anak buahnya didera untuk bekerja keras. Namun, tanpa pengambilan resiko tersebut, komitmen atasan akan terasa hampa, ringan tidak bertenaga. Di sini, komitmen justru member “flavor” pada kerja keras kelompok. Dalam sebuah kelompok kerja, komitmen akan terasa bila individu dalam kelompok mau “tune in”, mendukung “action”, bersedia untuk di expose, siap bertangung jawab terhadap tugas, dan bahkan ikut serta dalam mengatasi dilema yang pasti muncul dalam mengembangkan tugas. Dari sini jelas kita bisa melihat bahwa gejala “loh kok saya ?” atau “bukan saya, pak..”, tidak laku, karena sikap defensive hanyalah pertanda bahwa komitmen individu tidak ada.
Komitmen itu Pilihan
Individu yang memilih untuk komit biasanya sudah melalui proses pertimbangan terhadap kebutuhan dan visinya sendiri dan juga sudah yakin akan dampak sikapnya. Karena itu, individu yang berkomitmen tinggi, bisa memberikan “impact” yang lebih besar di pekerjaan, lebih persuasive, lebih terbuka terhadap kemungkinan dan kritik. Pilihan perilaku yang diambil seseorang yang berkomitmenpun akan diarahkan pada dua hal yang sangat penting, yaitu mendukung dan mengembangkan, karena hanya dengan sikap seperti inilah kelompok dapat maju dan mencapai tujuan yang sudah sama-sama dipahami. Rapat-rapat yang diikuti oleh orang-orang berkomitmen tinggi akan memakan waktu jauh lebih singkat daripada bila individu peserta rapat ragu akan komitmennya. Jadi, komitmen adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bagaimana dengan anda………

References :
1. Beberapa Dosa Manajemen Dalam Sebuah Organisasi, Doni Adriansah 2007
2. Kompas,  Edisi 2008

Strategi Pemasaran Berdasarkan Product Life Cycle (Part 3)

Maaf, buat sebagian temen-temen yang sudah via japri menanti edisi selanjutnya mengenai “Strategi Pemasaran Berdasarkan Product Life Cycle”. Kalau dalam sharing saya sebelumnya menceritakan tahapan sederhana tentang Product Life Cycle beserta solusi-solusi sederhana untuk memperpanjang life cycle dan beberapa strateginya, maka dalam sharing kali ini saya mencoba memberikan gambaran sederhana, bagaimana strategi ini terintegrasi dalam aplikasi-aplikasi enterprise. Dari beberapa informasi yang pernah saya baca dan pelajari, berkenaan dengan adanya aplikasi-aplikasi yang terintegrasi dalam bisnis transformasi dewasa ini, maka tidaklah heran jika strategi diatas di submitkan kedalam sebuah enterprise. Bagi para CIO mungkin sudah mengenal berbagai istilah dalam dunia TI, yang kebetulan selalu terdiri dari tiga huruf, apakah itu ERP, CRM, SCM dan aplikasi-aplikasi berskala enterprise lainnya. Kini, datang istilah lain: PLM, singkatan dari Product Lifecycle Management.
Meski relatif muda, PLM sudah bisa unjuk gigi, paling tidak dari pangsa pasarnya. ARC Advisory Group misalnya, memperkirakan pasar piranti lunak dan PLM akan tumbuh dari 6,3 miliar dolar AS tahun 2003 menjadi sekitar 14,1 miliar dolar AS di tahun 2007. Sementara, menurut AMR Research, sekalipun berada di tengah masa sulit, berbagai perusahaan manufaktur AS dari berbagai sektor industri telah mengucurkan investasi cukup besar - 2,3 miliar dolar AS.
Mengapa perusahaan-perusahaan ini bersedia mengambil risiko, sekalipun mereka sudah cukup direpotkan dengan penggelaran aplikasi enterprise lainnya? Alasannya, karena potensi PLM bisa mendongkrak kemampuan perusahaan dalam berinovasi melempar produk ke pasar dan mengurangi berbagai kesalahan.
Aplikasi-aplikasi PLM menjanjikan pengaliran secara mulus seluruh informasi yang dihasilkan seluruh tahapan siklus sebuah produk ke siapa pun dalam lingkungan perusahaan, maupun para pemasok dan pelanggan utama. Sebuah perusahaan otomotif misalnya, bisa menciutkan waktu yang dibutuhkan untuk memperkenalkan produk baru dalam sejumlah cara. Para insinyur produk bisa secara dramatis memperpendek siklus pengimplementasian dan persetujuan perubahan-perubahan bersifat teknis di sepanjang rantai desain (design chain).
Bagian pembelian pun bisa bekerja lebih efektif dengan para pemasok untuk penggunaan ulang berbagai komponen. Dari sisi eksekutif, mereka bisa melihat secara keseluruhan semua informasi produk yang penting, mulai dari rincian jalur produk sampai kegagalan komponen, yang dipilih dari data garansi dan informasi yang dikumpulkan di lapangan.
Dorongan untuk menekan biaya, inovasi berbasis tuntutan pelanggan, dan memangkas waktu yang dibutuhkan untuk melempar produk baru ke pasar memperluas daya tarik teknologi PLM ke lebih banyak industri, khususnya yang diregulasi secara ketat seperti industri consumer package goods (CPG), farmasi, dan life science.
Untuk menggali potensi PLM ini dibutuhkan kerja keras, khususnya para CIO – bahkan mungkin lebih dibandingkan penggelaran aplikasi enterprise lainnya. Tidak seperti ERP, yang biasanya digunakan untuk mengganti berbagai sistem yang sudah ketinggalan zaman, PLM membutuhkan banyak pengintegrasian dari berbagai lumbung database dan mendorong orang-orang dari berbagai latar belakang fungsi bisnis bekerjasama lebih baik.
PLM lebih merupakan strategi ketimbang sistem untuk pengintegrasian dan pembagian informasi mengenai produk antar berbagai aplikasi dan di antara berbagai bagian, seperti rekayasa, pembelian, produksi, pemasaran, penjualan dan purna jual.
Karena PLM berkembang dari piranti lunak desain produk, seringkali CIO menyerahkannya ke para perekayasa, yang secara tradisional mengelola penggelaran teknologinya. Sekalipun cocok untuk memilih perangkat solusinya, seperti CAD (computer aided design), namun PLM tidak cocok diterapkan untuk platform terintegrasi yang menjangkau keseluruhan perusahaan. 

Product lifecycle management (PLM)
Adalah sebuah pendekatan terintegrasi dan bersifat information-driven untuk seluruh aspek dari umur produk, mulai dari desainnya sampai tahap manufaktur, penggelaran dan pemeliharaannya dan berpuncak pada penggeseran produk dan tempat pembuangan akhir. Piranti lunak PLM memungkinkan pengaksesan, pembaruan, pemanipulasian dan pengartian mengenai informasi produk yang tengah diproduksi dalam suatu lingkungan terpisah dan tersebar. Definisi lain PLM adalah pengintegrasian sistem bisnis untuk mengelola silklus hidup suatu produk Bagian produksi dan rekayasa misalnya, bekerja dengan beberapa versi bill of material – yaitu daftar komponen dan sub-rakitan yang membentuk sebuah produk – berbeda. Demikian pula halnya dengan bagian pembelian, yang juga bergantung pada daftar vendor dan katalog yang sudah disepakati.
Agar PLM berhasil, perlu mengatasi masalah-masalah sensitif seperti membangun standar data dan merancang arsitektur integrasi korporat, sehingga informasi yang terfragmentasi tersebut bisa melayani para individu dalam format yang bisa mereka gunakan. Dengan cara ini, para pihak dari berbagai divisi dibekali perangkat untuk membuat keputusan penting seperti :
  • Produk apa yang akan diperkenalkan atau fitur-fitur apa yang perlu disertakan dalam sebuah tahapan desain.
  • Pada saat dan dengan cara paling hemat biaya, bukannya pada tahapan pembelian komponen atau bahkan ketika masuk dalam proses produksi.
Di sisi lain, tanpa panduan CIO mengenai PLM, “Besar kemungkinan pucuk pimpinan masing-masing fungsional akan mengambil keputusan mengenai apa yang terbaik buat mereka, bukannya mencari sebuah solusi yang bersifat global. Hasil pengambilan keputusan yang terdesentralisasi ini adalah standar yang simpang siur dan siapa lagi kalau bukan CIO yang membereskan kekacauan ini.
Cara terbaik bagi para CIO untuk menghindari jebakan ini adalah memosisikan dirinya sebagai chief architect untuk strategi PLM sekaligus sebagai pemimpin perubahan. Tugas pertama adalah menggariskan road map teknologinya, merencanakan infrastruktur untuk mendukung integrasi lintas-aplikasi dan membantu memilih vendor yang tepat.
Pekerjaan selanjutnya adalah memimpin pasukan, dengan bantuan para eksekutif bisnis kunci tentunya, untuk mengubah cara bekerja dalam proses kerja. Terakhir, melihat kondisi perekonomian belum cerah, sudah menjadi tugas CIO untuk menentukan bagian-bagian mana PLM paling bisa memberikan hasil sesegera mungkin. Dan yang pasti pada tahapan awal implementasi PLM ini membutuhkan investasi yang memang cukup besar.

References :
  1. Doni Adriansah, Hubungan Strategi Pemasaran Berdasarkan Product Life Cycle
  2. Kotler, Philip dkk., 2003, Marketing Management An Asian Perspective, Edisi Ketiga, Singapore: Prentice Hall Pearson Education Asia Pte Ltd.
  3. eBizz Asia

Strategi Pemasaran Berdasarkan Product Life Cycle (Part 2)

Pada bahasan sebelumnya menerangkan bahwa, setiap produk mempunyai fase hidup sampai dengan berakhir yaitu dimulai dari introduction (perkenalan di market), growth (berkembang) , maturity (dewasa), dan decline (penurunan) dengan rentang fase yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dalam menyikapi kondisi yang berbeda-beda ini, dibutuhkan strategi pemasaran yang berbeda-beda pula agar produk dapat bersaing di pasaran dan yang pasti menghasilkan profit yang optimal. Untuk itu kami akan mencoba menjabarkan secara sederhana urutan fase product life cycle.
1. Introduction
Sebelum fase introduction sebetulnya ada sebuah fase research dan develop yang tahapannya meliputi :
  • Discover (pengumpulan ide dan inovasi)
  • Define (penentuan dan pengelompokan jenis ide)
  • Debate (tes / uji untuk mendapatkan konfirmasi)
  • Decide (finalisasi jenis produk)
  • Design (penentuan standar spesifikasi dan internal soft launch)
Pada fase introduction penjualan akan tumbuh dengan lambat otomatis profit masih sangat kecil (bahkan mungkin mengalami kerugian) karena besarnya biaya yang dikeluarkan. Untuk itu kadang perusahaan perlu mengeluarkan biaya promosi yang sangat besar (dibandingkan dengan tingkat penjualannya) yang ditujukan pada beberapa hal, seperti memberi informasi pada potential customer mengenai adanya produk baru (product awareness), biaya untuk mengeluarkan product trial, biaya distribusi barang. Fase awal (promosi) ini sangat menentukan positioning dari product yang akan di launch, jadi harus dibuat keputusan yang matang kapan produk masuk dalam peta pasar. Sekali kita melakukan promosi yang tanggung dan tanpa persiapan matang, sudah bisa ditebak, bahwa produk tersebut tidak akan bertaha lama dalam peta market. Memang pada fase introduction ini, rata-rata harga barang yang ditawarkan cenderung tinggi, walaupun produk yang ditawarkan adalah produk yang standar. Biasanya jika yang diperkenalkan adalah produk yang pertama (pioneer), hal ini akan memberikan pengaruh yang besar, walaupun konsekuensi risiko dan biaya besar harus dikeluarkan. Sebaliknya, jika jenisnya produk pengikut (follower), maka produk ini akan menguasai pasar hanya apabila didukung infrastruktur yang kuat, baik dari sisi teknologi yang superior, kualitas yang baik, serta didukung backbone brand yang kuat. Sebuah riset mengatakan bahwa produk yang pertama kali diperkenalkan di pasar (market pioneer) memperoleh pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan dengan produk pengikut (follower). Bahkan ada riset lain yang mendapatkan bahwa 19 dari 25 perusahaan yang menjadi penguasa pasar di tahun 1923, tetap menjadi penguasa pasar di tahun 1983 (60 tahun kemudian). Hal ini dikarenakan customer akan menyebutkan brand dari produk tersebut ketika mereka puas dengan produk yang diberikan. Jadi beberapa hal yang perlu diperhatikan pada fase ini adalah persiapan yang matang, positioning peta market yang tepat, faktor eksternal berkenaan dengan kondisi daya beli masyarakat waktu itu, biaya yang tepat pada saat awal pengembangan, penentuan harga jual yang reasonable dan kompetitif, serta didukung kompetensi team yang solid.

2. Growth
Pada fase fase ini pertumbuhan penjualan sangat pesat, sehingga profit yang diperoleh juga meningkat. Melihat opportunity yang ada, kompetitor-kompetitor baru mulai memasuki pasar. Mereka memperkenalkan produk yang sama dengan feature-feature yang berbeda serta distribusi yang lebih luas. Sejalan dengan adanya peningkatan demand, harga produk pun akan mangalami penurunan secara lambat (atau bisa juga harga tetap sama). Biaya promosi cenderung tetap atau jika mengalami peningkatan maka tidak akan drastis. Akan tetapi peningkatan biaya promosi ini tidak sebanding dengan peningkatan penjualan yang sangat tinggi. Untuk mempertahankan peningkatan pangsa pasar yang tinggi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan perusahaan dalam melakukan berbagai strategi yaitu :
  • Meningkatkan kualitas produk, menambahkan feature baru dan memperbaiki desain produk, serta memberikan service tambahan atau jaminan terhadap produk.
  • Menambahkan model baru, ukuran baru, rasa baru, dan sebagainya untuk melindungi produk utama.
  • Memperluas cakupan distribusi dan memasuki saluran distribusi baru.
  • Mengubah focus advertising dari product awareness menjadi product preference.
  • Menurunkan harga jual produk untuk menarik second layer customer, jika diperlukan.

3. Maturity
Fase ini biasanya berlangsung lebih lama dari fase-fase sebelumnya. Pada fase ini pertumbuhan penjualan cenderung lambat (bahkan dapat mulai menurun) karena produk sudah diterima oleh pasar. Profit biasanya akan stabil atau bahkan cenderung menurun karena adanya kompetitor. Tingkat penjualan yang menurun menyebabkan adanya kelebihan produksi, yang pada akhirnya berimplikasi pada persaingan. Untuk mendapatkan pasar, kompetitor melakukan berbagai hal, seperti meningkatkan promosi , advertising, meningkatkan budget  untuk pengembangan produk, dan sebagainya. Hal ini menyebabkan kompetitor yang lemah menjadi tersingkir. Supaya dapat tetap bersaing pada fase ini, ada beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh perusahaan :


Market modification

Perusahaan dapat meningkatkan pangsa pasarnya dengan 2 metode. Metode yang pertama yaitu dengan meningkatkan jumlah konsumen produknya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menarik konsumen produk pengganti (substitute product), memasuki segmen pasar baru, menarik konsumen produk kompetitor. Sedangkan metode yang kedua adalah dengan cara meningkatkan jumlah pemakaian produk. Konsumen diarahkan untuk menggunakan produk dengan frekuensi yang lebih sering, dengan takaran yang lebih banyak, atau menggunakan produk tersebut untuk kebutuhan yang lain.

Product modification

Modifikasi produk dapat dilakukan melalui beberapa metode. Metode yang pertama yaitu dengan cara peningkatan kualitas, yang berarti peningkatan performa dari fungsi produk. Metode yang kedua yaitu penambahan feature, seperti ukuran, berat, material, aksesoris, dan sebagainya yang dapat meningkatkan fungsi, tingkat keselamatan, dan kenyamanan dari produk. Metode yang terakhir yaitu dengan melakukan perbaikan desain (tingkat estetika) dari produk itu sendiri.


Marketing mix modification

Untuk meningkatkan penjualan, perusahaan juga dapat melakukan analisis terhadap beberapa aspek, yaitu harga produk yang bersaing dengan kompetitor, distribusi yang lebih intensif, advertising yang menekankan pada brand differences, promosi penjualan, personal selling, dan juga service yang diberikan. Perusahaan seringkali bingung apakah lebih baik meningkatkan budget advertising atau budget promosi penjualan. Pada fase maturity, pengaruh promosi penjualan lebih besar dibandingkan dengan advertising karena konsumen produk mencapai titik ekuilibrium dalam kebiasaan membelinya dan dalam pilihannya. Dalam hal ini, pendekatan psikologi (advertising) kurang efektif dibandingkan dengan pendekatan finansial (promosi penjualan).

4. Decline
Pada fase ini penjualan akan menurun, sehingga profit juga akan semakin menurun. Penurunan penjualan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti adanya perubahan teknologi, perubahan selera konsumen, serta semakin meningkatnya persaingan domestik maupun internasional. Pada fase ini, beberapa perusahaan akan meninggalkan pasar. Semakin kecil exit barriers, maka semakin mudah perusahaan untuk meninggalkan suatu industri. Sebenarnya, ini menjadi suatu hal yang menarik bagi perusahaan yang tetap bertahan pada industri tersebut, karena perusahaan tersebut dapat menarik konsumen dari perusahaan yang “pergi”. Berikut ini beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh perusahaan jika sudah pada posisi berada pada fase decline diantaranya :
  • Meningkatkan investasi perusahaan untuk mendominasi pasar atau memperkuat posisi persaingan.
  • Mempertahankan level investasi perusahaan sampai pada titik dimana ketidakpastian terhadap industri menjadi jelas.
  • Mengurangi tingkat investasi perusahaan secara selektif, yaitu dengan cara meninggalkan kelompok customer yang tidak memberikan keuntungan, serta meningkatkan investasi pada pasar yang sudah dianggap tidak akan pernah lagi memberikan keuntungan.
  • Mengambil investasi perusahaan untuk memperoleh dana cair (cash) dalam waktu yang singkat.
  • Meninggalkan bisnis dalam waktu yang singkat dengan cara menjual aset perusahaan secepatnya, jika hal ini adalah solusi terakhir.

Dalam memilih strategi yang tepat untuk dilakukan, perusahaan harus melihat kondisi industri yang ada serta kekuatan perusahaan untuk bersaing dalam industri tersebut. Jika kondisi industri sudah tidak menarik tetapi kekuatan perusahaan masih ada, maka sebaiknya perusahaan mempertimbangkan untuk meninggalkan industri tersebut. Sedangkan jika kondisi industri masih menarik dan perusahaan masih mempunyai kekuatan untuk bersaing, maka perusahaan dapat mempertimbangkan untuk meningkatkan investasinya.

References :
  1. Doni Adriansah, Hubungan Strategi Pemasaran Berdasarkan Product Life Cycle
  2. Kotler, Philip dkk., 2003, Marketing Management An Asian Perspective, Edisi Ketiga, Singapore: Prentice Hall Pearson Education Asia Pte Ltd.
  3. M. A. Susanti
  4. eBizz Asia

Strategi Pemasaran Berdasarkan Product Life Cycle (Part 1)


Beberapa waktu lalu saat balik ke Jakarta, sempat dimintai pendapat oleh rekan-rekan pada forum diskusi mengenai product life cycle, sebenarnya sih ini event rutin saat nongkrong, dan kebetulan di hadiri oleh rekan-rekan di berbagai macam profesi, ada yang dari consumer good, automotive, elektronik, sparepart, furniture, dan juga teman-teman dari services seperti perbankan, asuransi, edukasi dan lain-lain sampai teman-teman yang punya warung tenda, beberapa pertanyaan menggelitik yang membuat menarik, diantaranya :

  • Hubungan antara kualitas suatu produk terhadap life cycle nya
  • Bagaimana cara memantain konsumen yang loyal
  • Bagaimana cara memaintain life cycle suatu product itu sendiri

Beberapa teman di consumer good mengatakan bahwa karakter atau tipe konsumen di consumer good mempunyai jenis tipe yang tidak loyal, jadi perlu kehati-hatian setiap akan launch jenis produk baru. Perlu untuk diketahui bahwa, sebenarnya semua konsumen pada dasarnya tidak loyal, karena kembali ke sifat harfiah mereka/ konsumen yang selalu menginginkan sesuatu lebih baik dan lebih baik, jadi bukan konsumen di consumer good saja yang tidak loyal, konsumen produk diluar consumer good juga tidak loyal. Masalahnya adalah sejauh mana keefektifan pebisnis dalam attack market, sementara banyak diantara mereka itu sendiri tidak memahami produknya jika dilihat dari sisi daya saing, sebaran, dan serapan terhadap pasar. Hal itu kemungkinan bisa terjadi dikarenakan informasi yang bias dari teamnya. Lebih-lebih yang paling krusial adalah ketidakefektifan dalam memaintain product life cycle nya.

Ada sebuah kasus nyata tentang salah satu perusahaan X (punya banyak bisnis) yang sangat agresif mengakuisisi sebuah perusahaan Y, yang sebenarnya mempunyai produk unggulan atau bisa dikatakan pioneer nya untuk jenis produk tersebut. Dan produk tersebut bisa dikatakan pada fase growth (tumbuh / berkembang) mendekati mature (dewasa) pada saat itu. Selang hanya beberapa tahun (1-2 tahun) setelah perusahaan Y di akuisisi, produk unggulan tersebut sudah bergeser cepat pada fase decline (penurunan) yang tak terkendali, apalagi ditambah dengan adanya produk tandingan dari competitor, padahal harga yang ditawarkan dari produk competitor lebih mahal lho. Dari hasil analisa awal disimpulkan bahwa, hal ini terjadi bukan karena turunnya permintaan, tapi lebih dikarenakan availability (ketersediaan), strategi sebaran dan distribusi yang kurang tepat. Walaupun kesimpulan awal ini di tentang oleh beberapa pihak di perusahaan X. Dan seiring dengan berjalannya waktu, diikuti semakin menurunnya produk tersebut baik dari sisi proses produksinya, beberapa dari mereka mengakui bahwa, perusahaan X sendiri tidak siap saat mengakuisisi perusahaan Y, karena lebih berkonsentrasi dengan produk lainnya. Yang dilihat hanya perhitungan jangka pendek semata (perhitungan dari sisi financial saja), jika mengakuisisi perusahaan Y.  Jadi ketidakseriusan dan ketidaksiapan memaintain strategi bisnis inilah sebagai akibat terjadinya hal tersebut diatas. Jadi bukan konsumen tidak loyal yang dijadikan kambing hitam tapi yang paling penting adalah pemahaman terhadap strategi pemasaran jika dikaitkan dengan product life cyclenya. Kedengarannya memang teoritis, tapi sebenarnya masuk akal kok.

Bicara mengenai product life cycle kelihatanya simple tetapi sebenarnya memiliki makna yang strategis dalam suatu bisnis. Disini kami coba menjelaskan tahapan yang sederhana dari product life cycle, kami memulainya dari penjelasan yang paling sederhana dahulu, karena kita justru sering melupakan hal-hal yang sederhana. Pada dasarnya setiap produk akan mengalami kelahiran dan kematian, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Suatu produk bisa saja pada suatu waktu sangat disukai banyak orang dan laku keras, namun di lain waktu produk itu tidak laku lagi dijual. Jadi pengertian daur hidup produk di mulai tahapan produk tersebut mulai dari lahir, tumbuh, dewasa dan mati. Berdasarkan pengamatan, setiap produk memiliki masa daur hidup produk yang berbeda, misalkan produk jenis elektronik biasanya memiliki rentang waktu yang sempit alias cepat mati sedangkan produk seperti makanan dapat bertahan lebih lama. Contoh produk elektronik seperti handphone tipe tertentu akan dibatasi jumlah yang dibuat dalam beberapa tahun, lalu membuat tipe hp lainnya. Minuman aqua sudah puluhan tahun memimpin pasar dan masih berada dalam kondisi antara pertumbuhan dengan dewasa.

Setiap produk yang dibuat pasti mengalami fase dari mulai produk tersebut diperkenalkan ke pasar sampai dengan produk tersebut sudah tidak laku di pasaran. Hal inilah yang diungkapkan dalam kurva Product Life Cycle, dimana kurva ini membagi fase sebuah produk ke dalam 4 bagian, yaitu fase introduction, growth, maturity, dan decline. Setiap fase ini mempunyai kondisi yang berbeda-beda, seperti pertumbuhan penjualannya, profitnya, jumlah kompetitornya, dan sebagainya.


References :
  1. Doni Adriansah, Hubungan Strategi Pemasaran Berdasarkan Product Life Cycle
  2. Kotler, Philip dkk., 2003, Marketing Management An Asian Perspective, Edisi Ketiga, Singapore: Prentice Hall Pearson Education Asia Pte Ltd.
  3. M. A. Susanti
  4. eBizz Asia

Management Business Process (Part - 5)


Produk akhir dari Reengineering
Indrajit (2002 :49), mengatakan bahwa produk akhir dari BPR adalah peningkatan daya saing perusahaan, yang pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan. Namun disamping itu dari segi proses sendiri, ada beberapa hal yang berubah secara drastis, yang dapat diamati dengan jelas seperti yang akan dipaparkan berikut ini:
1. Perubahan unit Kerja
Dari functional department (kesadaran unit kerja berdasarkan fungsi yang cenderung membangun “kerajaan sendiri” dan kurang menghargai kerja sama dengan fungsi lain) ke Process teams (kesadaran unit kerja yang lebih mementingkan kelancaran proses keseluruhan dan kurang menonjolkan fungsi bagian tersendiri, sehingga dilakukan kerja sama dengan fungsi lain).

2. Perubahan dalam tugas
Dari Simple Tasks (Tugas spesialis dikembangkan menjadi tugas generalis sehingga pelaksana merasa lebih penting, lebih puas, dan lebih merasa dihargai) ke Multi-Domensional work (saling tukar pekerjaan menjadi lebih mungkin dilaksanakan sehingga efisiensi lebih dapat ditingkatkan tentu saja hal ini memerlukan banyak sekali tipe pekerja yang lebih terdidik dan terlatih).

3. Perubahan dalam peran karyawan
Dari Controlled (merekrut dan memperkerjakan pekerja dengan harus mengikuti peraturan yang sudah ditentukan) ke Empowered (merekrut dan memperkerjakan pekerja dengan peraturan yang dibuat sendiri oleh mereka, dimana merekrut dan memperkerjakan pekerja dengan peraturan yang dibuat sendiri oleh mereka dalam melakukan rekrutmen tidak hanya pendidikan dan keterampilan saja yang menjadi syarat, tetapi sikap serta karakter orang tersebut menjadi syarat yang tidak kalah pentingnya dibandingkan pendidikan dan keterampilan tersebut, seperti disiplin dan motivasi).

4. Perubahan dalam persiapan tugas
Dari Training (cara pelatihan tradisional yang dilakukan perusahaan untuk melatih pekerjanya agar mampu melakukan sesuatu, menggunakan sesuatu atau memecahkan situasi tertentu) ke education (pendidikan yang lebih menekankan bagaimana orang dapat memutuskan sendiri bagaimana agar pekerjaan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya).

5. Pergeseran dalam ukuran kinerja dan kompensasi
Dari Activity (ukuran kinerja dan pemberian kompensasi biasanya diukur secara langsung, dari aktivitas yang dilakukan oleh para pekerja) ke Result (struktur kompensasi dan ukuran kinerja dihubungkan dengan hasil yang diperoleh).

6. Perubahan dalam kreteria kemajuan
Dari Performance (bonus diberikan pada mereka yang dapat melaksanakan tugas dengan sangat baik) ke Ability ( promosi untuk tugas baru “advancement” diberikan ada mereka yang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan tugas baru tersebut)

7. Perubahan dalam nilai
Dari Protective (para pekerja melakukan pekerjaan untuk atasan mereka) ke productive (para pekerja bekerja untuk para pelanggannya).

8. Perubahan dalam tugas manajer
Dari Supervisor (pimpinan bertindak sebagai pelatih yang memberikan bantuan kepada mereka untuk memecahkan persoalan, memberikan nasihat dan sebagianya, sehingga pimpinan berkonotasi memberikan perintah dan pengawasan terhadap pekerjanya) ke Coaches (pimpinan bertindak sebagai fasilitator dan mengusahakan para pekerja dapat melaksanakan pekerjaannya agar lebih mandiri).

9. Perubahan dalam struktur organisasi
Dari Hierarchical (organisasi fungsi) ke Flat (Organisasi proses)

10. Perubahan dalam tugas eksekutif
Dari Scorekeepers (pengawasan dimana dilakukan dorongan dan seruan kepada para pekerjanya) ke Leaders (pemberi inspirasi mengenai perubahan budaya dan nilai, dimana tidak hanya dilakukan dorongan dan seruan tetapi juga denga teladan nyata).

Dalam melakukan Reenginering, pada akhirnya akan dilakukan perubahan hampir pada semua jenis proses dan aktivitas maupun nilai dan budaya perusahaan itu. Dimana akan menyangkut People, Jobs, Managers dan Values, yang mana disebut sebagai Four Point of The Business System Diamond, seperti terlihat dalam Gambar.

Business Process
Business process berada pada titik puncak dimana akan menjadi induk untuk job and structur. Cara suatu pekerjaan dilakukan akan menentukan bagaimana orang yang akan melakukan pekerjaan itu dikelompokan dan diorganisir. Proses yang terpancar membutuhkan organisasi pusahaan tradisional yaitu spesialisasi secara sempit
dengan organisasi berdasarkan fungsi, proses yang akan terintegrasi memerlukan jenis pekerjaan yang multidimensional dan paling cocok diorganisir dengan Process Teams.

Job and Structure
Tugas dan struktur ditentukan oleh desain proses, yang pada gilirannya mmenentukan pula sistem manajemen dan system kompensasi.

Management and Measurement System
Bagaiman orang diberikan kompensasi, bagaimana mereka diukur hasil kinerjanya, adalah penentu utama mengenai nilai dan kepercayaan mereka pada perusahaan. Makna dari nilai dan kepercayaan disini adalah seberapa jauh kepedulian dan komitmen mereka pada pekerjaan dan perusahaan tempat mereka bekerja.

Value and Beliefs
Pada akhirnya komitmen dan kepedulian para karyawan akan menunjang dan menentukan proses perusahaan.


References :
  1. Andrews, C.D., & Susan, K.S., 1994, Business Reengineering: The Survival Guide, Yourdon Press, Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs, New Jersey, USA.
  2. Burlton, R.T., 2001, Business Process Management: Profiting From Process, Sams Publishing, Indianapolis, Indiana, USA.
  3. Chang, R.Y., 1999, Peningkatan Proses Berkesinambungan, PT.Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
  4. Federal Information Processing Standards Publication (FIPSP) 183, 1993, Integration Definition for Function Modeling (IDEFØ), Air Force Wright Aeronautical Laboratories, Air Force Systems Command, Wright-Patterson Air Force Base, Ohio 45433, USA.
  5. IDS Scheer AG, Whitepaper – June 2005, Bussiness Process Management – ARIS Value Engineering Concept, Inventory Number BMP0605-E-WP, Saarbrüecken, Germany (http://www.ids-scheer.com), (2006, Mei 31)
  6. IDS Scheer AG, 2001, Successful Management of ARIS Project, Germany (http://www.ids-scheer.com), (2006, Mei 31)
  7. Indrajit, R.E., dan R.Djokopranoto, 2002, Konsep dan Aplikasi Business Process Reengineering: Strategi Meningkatkan Kinerja Bisnis secara Dramatis dan Signifikan, Grasindo, Jakarta.
  8. International Business Machiness Corporation (IBM), 1984, Business System Planning, Fourth Edition, IBM.
  9. Institute of Industrial Engineers, 1993, Business Process Reengineering: Current Issues and Aplications, Industrial Engineering and Management Press, Norcross, Georgia, USA.
  10. Malhotra, Y. 1998, "Business Process Redesign: An Overview IEEE Engineering Management Review, Vol. 26, no. 3", (URL: http://www.kmbook.com/bpr.htm). (2004, Oktober 14)
  11. Peppard, J. dan Rowland, P., 1995, The Essence of Business Process Reengineering, Prentice Hall, London.
  12. Scheer, A.W., 1994, Business Process Engineering – Reference Models for Industrial Enterprises, Second Edition, Spinger-Verlag Berlin, Germany.
  13. Wibowo, M., 2004, Efisiensi Perusahaan melalui Penerapan
  14. Manajemen Proses Bisnis, Grasindo, Jakarta.
  15. Doni Adriansah, Penerapan Sederhana Business Process Reengineering Dalam Dunia Manufaktur.


Management Business Process (Part - 4)


Pemetaan Proses Dalam Re-engineering
Hal yang paling utama dalam revolusi reengineering ini ialah perubahan dalam proses di dalam perusahaan atau proses bisnis. Mengubah proses berarti menganti proses yang sekarang menjadi proses yang baru, yang lebih baik, mengganti das sein menjadi das sollen. Untuk itu diperlukan suatu peta proses, suatu gambaran yang memberikan kejelasan mengenai proses itu sendiri. Pemetaan proses adalah suatu alat manajemen yang merupakan metodologi yang sudah teruji, untuk mengenal proses yang berjalan sekarang, yang akan dapat digunakan untuk menunjukkan jalan menuju proses baru yang dituju dalam rangka proses reengineering (Indrajit, 2002:88). Pemetaan proses ini pertama kali dikembangkan oleh General Electronic sebagai bagian dari strategi Workout, Best Practice dan Process Mapping yang ditempuhnya. Konsep pemetaan proses dibuat dalam bentuk diagram alur kerja dengan penjelasan dalam teks yang memuat setiap langkah penting dalam proses bisnis.
Merancang Ulang Proses
Tidak ada rumus untuk merancang ulang proses bisnis, namun ada beberapa prinsip yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam merancang ulang. Ada dua pendekatan utama untuk merancang ulang proses guna tercapainya perbaikan kinerja, yaitu pendekatan kertas bersih (clean sheet approach) dan pendekatan sistematis (ESIA).
1. Pendekatan kertas bersih (clean sheet approach)
Secara fundamental memikirkan kembali cara menyampaikan produk atau jasa dan merancang proses-proses baru dari permulaan. Secara mendasar pendekatan kertas bersih menuntut adanya beberapa pertanyaan yang perlu dikemukakan, yaitu :
  • Bagaimana Anda menghadapi pesaing ?
  • Seperti apa proses yang ideal itu ?
  • Bila Anda harus membangun kembali organisasi dari semula, akan seperti apa organisasi tersebut nantinya ?

Seperti halnya perancangan ulang secara sistematis, organisasi harus mencari metodologi yang paling sesuai dengan situasinya. Meskipun demikian, sebagai titik awal, Joe Peppard dan Philip Rowland (1995:193) mengusulkan satu kerangka kerja, diantaranya :
Tahap 1:
Kembangkan pemahaman tingkat tinggi atas proses yang ada. Di sini tidak perlu memperoleh segalanya, walaupun memang perlu mengidentifikasi proses inti. Biasanya ada 6-8 proses inti dan Anda harus memilih untuk menganalisis tahapan kunci dari masing-masing tahapan tersebut sebelum melakukan suatu penelitian. Tahap ini akan meliputi analisis hasil yang diberikan proses tersebut saat ini.
Tahap 2 :
Benchmarking, curah pendapat dan membayangkan Ini merupakan tahapan ‘menyenangkan’ yang cukup penting. Benchmarking sangat berguna untuk menyoroti cara-cara alternative untuk bekerja. Brainstrorming dan fantasizing, terutama dari sudut pandang pelanggan, dapat menjadi cara yang baik untuk memperoleh gagasan baru.
Tahap 3 :
Perancangan proses. Selama tahap ini, gagasan proses yang telah melalui ‘brainstorming’ dipikirkan secara lebih mendalam. Gagasan-gagasan ini mungkin benar- benar ‘kertas kosong’, di mana tidak ada hubungannya sama sekali dengan rancangan proses saat ini. Merancang proses tersebut bisa sangat iteratif dengan pertimbangan-pertimbangan proses, sumber daya manusia, dan teknologi yang telah ditelaah berulang kali. Dalam menerjemahkan gagasan tersebut menjadi rancangan perlu diupayakan agar ‘kertas bersih’ tersebut mempertimbangkan ‘tugas pelayanan’ dalam rincian tertentu, kemampuan sumber daya manusia yang akan melaksanakan cara baru dalam bekerja, dan kemampuan teknologi, serta pada akhirnya melakukan benchmarking untuk memastikan bahwa orang tidak kembali pada cara yang lama dalam bekerja.
Tahap 4 :
Validasi. Setelah merancang proses baru, rancangan tersebut perlu divalidasi dengan mensimulasikan bagaimana proses tersebut akan berlangsung dalam dunia nyata.

2. Perancangan ulang secara sistematis
Perancangan ulang secara sistematis yaitu mengidentifikasikan dan memahami proses-proses yang ada dan kemudian mendesain kembali proses-proses tersebut secara sistematis untuk menciptakan proses-proses baru, guna memberikan hasil yang diinginkan. Perancangan ulang proses secara sistematis dilakukan pada proses yang ada sekarang untuk membuatnya menjadi : lebih baik, lebih murah, dan lebih cepat.
  • Lebih baik , berarti memberikan tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi pemegang saham dan terutama kepada pelanggan.
  • Lebih murah, berarti melakukan semua proses dengan tingkat efisiensi yang maksimum.
  • Lebih cepat, berarti proses dilakukan secepat mungkin untuk meningkatkan daya tanggap/respon terhadap kebutuhan pelanggan.
Secara umum dapat dikatakan, tujuan perancangan proses pada pendekatan ini adalah meningkatkan nilai tambah bagi pelanggan pada proses yang ada sekarang dengan cara mengeliminasi semua kegiatan yang tidak bernilai tambah dan merampingkan kegiatan yang bernilai tambah. Sistem perancangan seperti yang dijelaskan diatas dapat diringkas sebagai ESIA, yaitu :
  • Mengeliminasi (Eliminate),
  • Menyederhanakan (Simplify),
  • Mengintegrasikan (Integrate), dan
  • Mengotomasikan (Automate).
A. Eliminate
Semua tahap yang tidak bernilai tambah dalam proses harus dieliminasi, berikut ini contoh-contoh kegiatan yang sering ada dalam perusahaan yang cenderung tidak bernilai tambah sehingga mempunyai potensi untuk dieliminasi :
  • Produk berlebihan, memproduksi lebih daripada yang dibutuhkan pada waktu tertentu adalah sumber utama pemborosan. Semua produksi berlebihan akan menyebabkan penumpukkan persediaan dan berpotensi menimbulkan masalah.
  • Waktu Menunggu, ada biaya bagi material, atau sumber daya manusia bila harus menunggu sesuatu. Pekerjaan akan terhambat atau terhenti karena harus menunggu material tersebut tiba, menunggu, keputus-asaan dan sebagainya, sebagaimana kita ketahui waktu adalah uang.
  • Transportasi, pemindahan, dan gerakan, setiap kali orang, material dan kertas berpindah itu membutuhkan biaya. Sesuatu atau seseorang harus memindahkan material atau kertas dan waktu yang dihabiskannya adalah waktu yang digunakan untuk menambah nilainya. Perpindahan orang juga tidak murah- mengapa mereka berpindah, nilai apa yang mereka tambahkan dan apakah waktunya tidak lebih baik dihabiskan untuk mengerjakan potongan materi atau kertas berikutnya, atau bahkan dengan pelanggan yang lain.
  • Pemrosesan, apakah proses tersebut menambah nilai? Jika tidak, mengapa proses tersebut dilakukan? Jika ya, apakah proses tersebut efisien? Apa mungkin proses tersebut yang bernilai tambah tadi lebih dikembangkan dengan mengeliminasi penyebab variabilitasnya atau dengan meningkatkan kepastian hasil proses.
  • Persediaan dan paperwork, mengapa persediaan dan paperwork dibutuhkan? Apakah benar-benar perlu untuk memastikan kepuasan pelanggan? Mungkin paperwork diperlukan untuk bagian lain dari rangkaian proses atau tugas tersebut. Persediaan yang berlebih akan merupakan masalah besar bagi pabrik-pabrik. Demikian pula halnya, paperwork dan formulir yang berlebihan cenderung menghasilkan ketidak-efisienan proses karena menambah birokrasi dan biasanya hanya sedikit kontribusinya yang secara aktual akan bermanfaat bagi pelanggan.
  • Produk cacat, rusak dan pengerjaan ulang – sasaran perusahaan seharusnya adalah melakukan segala sesuatu secara benar dari awal dan menghindari biaya tenaga, biaya material, gangguan serta biaya kesempatan yang dibutuhkan untuk meralat atau mengatasi masalah karena kesalahan proses awal. Hal yang penting disini adalah bahwa yang harus dieliminasi adalah penyebab kegagalan yang merupakan masalah proses.
  • Duplikasi tugas, setiap tugas yang dilakukan harus memberikan nilai tambah dengan cara-cara tertentu. Jika sebuah tugas diulang, ini tidak menambah nilai, tetapi hanya menambah biaya. Bertambahnya paperwork dan pemasukkan data ke dalam system komputer sering ditemukan berulang-ulang terjadi dalam kebanyakan perusahaan. Akibat duplikasi tugas ini adalah timbulnya kemungkinan kesalahan dan ketidaksesuaian anatara pengerjaan pertama dan pengerjaan selanjutnya.
  • Format ulang atau transfer informasi, hal ini merupakan bentuk lain dari duplikasi. Cukup sering data ditransfer dari satu bentuk ke bentuk lain atau dicetak dari suatu sistem komputer untuk diinput kembali secara manual ke sistem yang lain. Ini sering terjadi jika informasi bergerak melalui batasan organisasional.
  • Inspeksi, pemantauan, pengendalian, meskipun dapat saja hal ini muncul karena alasan justifikasi, banyak diantaranya yang muncul karena alasan historis dan menjadi tradisi pekerjaan dan lapisan manajemen. Seringkali pemantauan dan pengendalian dilakukan apabila proses melalui batasan departemental. Seiring dengan makin dipertanyakannya bentuk-bentuk struktur organisasi, semakin banyak pula pemantauan dan pengendalian yang dipandang tidak relevan. Ada baiknya membuat pembedaan yang nyata antara bermacam-macam jenis pemantauan dan pengendalian, karena ini harus dibuat pendekatan tujuan yang berbeda yang memang benar- benar perlu untuk melakukan pengendalian atau inspeksi.
  • Jelas bahwa organisasi harus menyesuaikan diri dengan tuntutan peraturan dan mungkin ada alasan untuk setiap tindakan tersebut, seperti pemeriksaan kesehatan dan keamanan. Organisasi mungkin memang harus mempunyai ‘bahan pengawas’, tetapi harus tetap ada keleluasaan dalam kendali-kendali atau sasaran/target yang diterapkan untuk dirinya sendiri. Organisasi harus memahami secara jelas keperluan setiap pihak, demi kepentingan jaminan atau produktivitas/kesehatan finansial.
  • Rekonsiliasi,  serupa dengan pemantauan dan pengendalian serta  birokrasi kalsik masa lalu. Meskipun perlu untuk memastikan  bahwa segala sesuatu cocok/sesuai, realisasi proses secara  keseluruhan juga tidak kalah penting. Eliminasi hal ini dapat  merupakan sumber peningkatan  efisiensi yang signifikan dan kemudian otomatisasi terhadap jumlah rincian yang harus  dicocokkan.

Pada setiap titik dalam proses, hal ini yang harus diperhatikan  dan dipertimbangkan adalah konstribusi apa yang diberikan bagi tugas  pelayanan pelanggan. Kegiatan-kegiatan yang tidak bernilai tambah ini  merupakan target pertama bagi setiap inisiatif perancangan ulang proses  secara sistematis. Selanjutnya bagaimana cara mengeliminasi atau  meminimalkan aktivitas tersebut tanpa berdampak negatif terhadap  proses bersangkutan.

B.  Simplify
Seringkali mengeliminasi sebanyak mungkin tugas yang tidak  diperlukan, selanjutnya tugas tersisa perlu disederhanakan. Biasanya  hal-hal berikut yang berpotensi untuk disederhanakan atau untuk  membantu menyederhanakan proses :
  • Prosedur,  seringkali prosedur-prosedur yang ada terlalu rumit dan  sulit dipahami.
  • Komunikasi, baik dengan pelanggan maupun antar karyawan harus  jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak. ‘Bahasa’ yang  digunakan harus jelas dan sederhana.
  • Teknologi, teknologi yang diterapkan perlu diperhatikan kesesuaiannya dengan tugas yang sedang dilaksanakan, solusi  teknologi tinggi untuk mengatasi tugas yang tidak dapat diatasi  oleh teknologi rendah.
  • Aliran, urutan tugas dapat diubah untuk menyederhanakan aliran  material atau  paperwork dan membuat pekerjaan berikutnya lebih  mudah.
  • Proses, dapat juga disederhanakan dan dirampingkan dengan  mengetahui kapan proses tersebut melayani produk atau pasar  berbeda. Dengan memecah proses dan mengidentifikasi kegiatan  yang paling tepat ditujukan bagi segmen pelanggan tertentu, proses  tersebut dapat dibuat lebih sederhana. Kadangkala proses yang  sama mencoba memuaskan pelanggan dengan kebutuhan yang  cukup berbeda. Proses itu tidak cukup memadai untuk melayani  segmen-segmen yang berbeda tersebut dan yang sering terjadi  adalah penekanan pada salah satu segmen tertentu saja.

C.  Integrate
Tugas yang disederhanakan, sekarang harus diintegrasikan agar  dapat menghasilkan aliran yang lancar dalam penyampaian kebutuhan pelanggan dan tugas pelayanan pelanggan.
  • Pekerjaan, dimungkinkan untuk menggabungkan pekerjaan  menjadi satu. Melalui pemberdayaan seorang pekerja untuk  menyelesaikan rangkaian tugas yang telah disederhanakan sehingga  aliran material atau informasi dalam organisasi akan menjadi lebih  cepat. Apabila pekerjaan harus dikerjakan antar individu, terdapat peluang terjadinya kesalahan akan lebih besar dan harus ada  sesuatu yang memfasilitaskan transfer kerja tersebut, cara lain  pengintegralan pekerjaan adalah dengan menugaskan sesorang  yang bertanggung jawab  atas pemrosesan produk atau jasa secara  keseluruhan mulai dari pesanan sampai pengiriman. Orang ini  disebut ‘pekerja kasus’ (case worker)  atau ‘manajer kasus (case  manager). Orang ini bertindak sebagai ‘titik kontak tunggal’ bagi  pelanggan
  • Tim, perluasan logis dari tugas-tugas yang disatukan adalah  penggabungan para ahli ke dalam tim-tim, dimana tidak mungkin  bagi seseorang secara sendiri dapat melakukan seluruh rangkaian  kegiatan. Meskipun tim mungkin mempertahan beberapa jalur  pelaporan/tanggung jawab, misalnya untuk penjualan dan oprasi,  mereka bergabung sebagai sebuah tim pelaksanaan proses tunggal  sebagai sebuah tim pelaksana proses tunggal untuk pekerjaan  sehari-sehari, kedekatan secara fisik tersebut dapat mengurangi  munculnya masalah-masalah akibat pemecahan tugas atau  pekerjaan atas spesialisasi-spesialisasi pekerjaan dan bila muncul  masalah mereka dapat segera mengatasinya. Teknologi informasi  memungkinkan secara fisik berjauhan, dapat saling bekerja sama,  walaupun cara ini dapat menggantikan hubungan akrab secara fisik.  Meskipun demikian diusahakan agar suatu tim ditempatkan  bersama-sama saling berdekatan  secara fisik untuk menimalkan  jarak yang harus ditempuh material, informasi dan paperwork serta  meningkatkan komunikasi antar setiap orang yang bekerja dalam  proses tersebut.
  • Pelanggan, integrasi pelanggan dapat dilihat dari dua tingkat  utama, yaitu integrasi konsumen individual dan integrasi organisasi  pelanggan. Pada tingkat konsumen individual, integrasi merupakan  hal yang krusial dalam situasi tertentu. Pelanggan tidak merasa  nyaman di suatu tempat  tertentu  tidak bertahan dan berbelanja di  tempat tersebut. Mengintegrasikan syarat pelayanan seseorang ke  dalam proses-proses organisasi pelanggan dapat sangat bermanfaat,  karena kemitraan seperti ini akan ‘mengikat’ pelanggan pada  perusahaan dan membuat pesaing sulit merebut mereka. Bentuk  integrasi ini sering disebut  Value  added  services, yaitu layanan  tambahan terhadap kebutuhan dasar yang dibeli, tetapi memberikan  nilai tertentu kepada pelanggan. Value added services semakin  popular, karena perusahaan-perusahaan berupaya menemukan cara  mempertahankan pelanggan dan mencegah pesaing memasuki pasarnya. 
  • Pemasok, penghematan efisiensi yang cukup signifikan dapat  dicapai jika birokrasi yang tidak diperlukan antara organisasi dan  pemasok dapat dieliminasi. Kepercayaan dan kemitraan merupakan  kunci integrasi dengan pemasok walau tetap diperlukan adanya  pemeriksaan. Salah satu sistem manufaktur yang popular, yaitu  Just In Time (JIT) mengandung suatu proses kerja sama pemasok dan perusahaan melalui berbagai cara integrasi yang biasanya  didukung oleh teknologi informatika. Integrasi aktivitas-aktivitas  juga diperkuat untuk penyampaian yang selaras dalam beberapa  kasus, dimana para pemasok membuat komponen yang diminta dan  menyampaikannya sesuai dengan jadwal perakitan pelanggannya. Perusahaan tidak lagi membayar persediaan yang tidak perlu atau  pemborosan lainnya dan pekerjaan yang disinkronisasi ini akan  menghasilkan pengurangan biaya persediaan hingga tingkat  minimum.

D.  Automate 
Sebagai mana telah diuraikan sebelumnya, teknologi informasi  dapat menjadi alat yang kuat untuk mempercepat proses dan  memberikan layanan pelanggan yang lebih bermutu jika diterapkan pada  proses yang tepat/logis. Jika proses tersebut bermasalah maka otomatis  akan dapat memperparah situasi. Oleh karena itu otomatis diterapkan  setelah mengkliminasi, setelah tahapan otomatisasi, dimungkinkan  untuk kembali pada tahap yaitu pengeliminasian, penyederhanaan,dan  pengintegrasian tugas-tugas. Dalam beberapa kasus, sejak permulaan  dapat diramalkan perlunya otomatisasi aspek-aspek tertentu dari proses.  Beberapa kondisi proses yang dapat dipertimbangkan untuk di  otomatisasi adalah sebagai berikut :
  • Tugas yang berulang merupakan calon yang paling baik untuk  diotomatisasi. Tugas-tugas ini dapat berupa tugas shop floor, tugas- tugas klerikal seperti tugas mencocokan item-item dalam formulir  dan sebagainya.
  • Pengumpulan data jika dilakukan dengan mesin, waktu proses lebih  cepat dan akurasinya akurat. Contoh teknologi ini adalah bar code  reader ditoko- toko glosir.
  • Transfer data, menstransfer data dari satu format ke format yang  lain, dari satu orang keorang lain atau satu sistem ke sistem lain, jika memang harus dilakukan atau tidak dapat dihilangkan  merupakan calon utama yang lain untuk diotomatisasi.

Otomatisasi seharusnya hanya diterapkan pada proses-proses  ng terkendali atau dikendalikan. Intervensi manual dari sumber daya  manusia yang berkaitan dengan fleksibilitas dan kecerdasannya tetap akan diperlukan. Otomatisasi paling cocok diterapkan untuk tugas-tugas yang sifatnya rutin dan  repetitive atau untuk pemodelan yang sangat kompleks.

Ringkasan dari pendekatan sistematis perancangan ulang adalah : 
  • Secara umum, pendekatan sistematis lebih sering digunakan untuk  melakukan perbaikan kinerja dalam jangka pendek.
  • Perancangan ulang secara sistematis cenderung membutuhkan lebih banyak perubahan  incremental, meskipun dapat menghasilkan  perbaikan nyata dalam tahap-tahap permulaan tetapi harus terus  disempurnakan secara berkenambungan. Pendekatan ini banyak  dipakai pada perusahaan-perusahaan Jepang. 
  • Pendekatan baru yang inovatif cenderung lebih sulit karena terpaku  pada proses yang sekarang.  Pendekatan sistematis adalah perbaikan berskala kecil  menghasilkan manfaat yang kecil pula, dan semakin kecil hingga  pada akhirnya tercapai ‘titik pisah’ (breakpoints) dimana perbaikan  kinerja tidak dapat dimaksimalkan lagi, sehingga dibutuhkan  pemikiran ulang perancangan proses secara fundamental untuk mendapatkan  tinggi perbaikan yang lebih nyata. 
  • Walaupun demikian pendekatan inkremental ini dapat menghasilkan perubahan yang signifikan dalam kinerja jika diterapkan pada skala besar.

Bentuk-bentuk kongkret dari reengineering yang sering dijumpai dalam berbagai perusahaan antara lain (Indrajit, 2002:49):
    1. Beberapa pekerjaan digabungkan menjadi satu,
    2. Para pekerja ikut dalam pengambilan keputusan,
    3. Langkah-langkah dalam proses dibuat berurutan secara alamiah,
    4. Prosesnya berbentuk ganda,
    5. Pekerjaan dilakukan di mana paling logis dilakukan,
    6. Pengawasan dan pengendalian dikurangi, 
    7. Rekonsiliasi ditekan sesedikit mungkin,
    8. Satu manajer untuk hal tertentu merupakan stu titik hubung, dan
    9. Sentralisasi atau desentralisasi harus sesuai dengan kebutuhan

References :
  1. Andrews, C.D., & Susan, K.S., 1994, Business Reengineering: The Survival Guide, Yourdon Press, Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs, New Jersey, USA.
  2. Burlton, R.T., 2001, Business Process Management: Profiting From Process, Sams Publishing, Indianapolis, Indiana, USA.
  3. Chang, R.Y., 1999, Peningkatan Proses Berkesinambungan, PT.Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
  4. Federal Information Processing Standards Publication (FIPSP) 183, 1993, Integration Definition for Function Modeling (IDEFØ), Air Force Wright Aeronautical Laboratories, Air Force Systems Command, Wright-Patterson Air Force Base, Ohio 45433, USA.
  5. IDS Scheer AG, Whitepaper – June 2005, Bussiness Process Management – ARIS Value Engineering Concept, Inventory Number BMP0605-E-WP, Saarbrüecken, Germany (http://www.ids-scheer.com), (2006, Mei 31)
  6. IDS Scheer AG, 2001, Successful Management of ARIS Project, Germany (http://www.ids-scheer.com), (2006, Mei 31)
  7. Indrajit, R.E., dan R.Djokopranoto, 2002, Konsep dan Aplikasi Business Process Reengineering: Strategi Meningkatkan Kinerja Bisnis secara Dramatis dan Signifikan, Grasindo, Jakarta.
  8. International Business Machiness Corporation (IBM), 1984, Business System Planning, Fourth Edition, IBM.
  9. Institute of Industrial Engineers, 1993, Business Process Reengineering: Current Issues and Aplications, Industrial Engineering and Management Press, Norcross, Georgia, USA.
  10. Malhotra, Y. 1998, "Business Process Redesign: An Overview IEEE Engineering Management Review, Vol. 26, no. 3", (URL: http://www.kmbook.com/bpr.htm). (2004, Oktober 14)
  11. Peppard, J. dan Rowland, P., 1995, The Essence of Business Process Reengineering, Prentice Hall, London.
  12. Scheer, A.W., 1994, Business Process Engineering – Reference Models for Industrial Enterprises, Second Edition, Spinger-Verlag Berlin, Germany.
  13. Wibowo, M., 2004, Efisiensi Perusahaan melalui Penerapan
  14. Manajemen Proses Bisnis, Grasindo, Jakarta.
  15. Doni Adriansah, Penerapan Sederhana Business Process Reengineering Dalam Dunia Manufaktur.

    Management Business Process (Part - 3)


    Business Process Reengineering
    Sejarah Reengineering
    Sesuai dengan perubahan ekonomi global dan globalisasi pasar maka kebutuhan konsumen juga berubah. Hal ini menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin keras. Pendekatan baru mutlak diperlukan untuk menghadapi perubahan lingkungan yang dinamis dan perubahan organisasi secara fleksibel. Pada tahun 1991, Michael Hammer, seorang profesor MIT dalam bidang komputer menerbitkan sebuah artikel pada Harvard Business Review yang secara garis besar membahas tentang empat dimensi / aspek yaitu aspek strategi, aspek proses, aspek teknologi dan aspek organisasi yang kemudian berkembang menjadi empat elemen dasar dari rekayasa ulang proses bisnis.

    Definisi Business Process Reengineering
    Robert Janson dalam Institute of industrial Engineers (1993:49) mendefinisikan reengineering sebagai pembaharuan proses dalam organisasi secara radikal yang banyak digunakan perusahaan untuk memperbaharui komitmen mereka terhadap pelayanan kepada pelanggannya. Fokus utamanya adalah membuat perbaikan disegala bidang dalam pelayanan organisasi, contohnya sumber daya manusia, proses kerja, dan teknologi. Reengineering menolong perusahaan melewati rintangan sistem kerja yang tidak mendukung pencapaian tingkat kepuasaan pelanggan. Michael Hammer dan James Champy dalam Indrajit (2002:6) menyatakan bahwa Business Process Reengineering (BPR) adalah:
    “Pemikiran dan perancangan ulang suatu sistem bisnis secara mendasar (fundamental) dan radikal untuk mendapatkan perbaikan secara dramatis pada saat kritis, dengan mengukur kinerja saat ini melalui elemen-elemen biaya, kualitas, pelayanan dan kecepatan.”
    Definisi ini adalah salah satu definisi yang paling sering dipakai dan dapat ditemukan dalam berbagai jurnal dan artikel ilmiah. Dalam definisi dari Michael Hammer diatas, terdapat empat kata kunci yaitu fundamental, radikal, dramatis dan proses (Indrajit,2002:69).
    1. Fundamental
    Dalam melakukan proses reengineering dua pertanyaan mendasar yang akan ditujukan adalah : Mengapa perusahaan berbuat seperti apa yang perusahaan perbuat? dan Mengapa perusahaan berbuat dengan cara seperti yang perusahaan kerjakan sekarang? Jika pertanyaan fundamental ini diajukan, maka akan memaksa pelaku bisnis untuk menggunakan asumsi dan aturan tak tertulis yang mendasari bisnis mereka, seringkali asumsi atau aturan ini keliru dan tidak tepat. Pertanyaan yang harus diajukan bukan “Apa yang sudah dikerjakan?”, tetapi “Bagaimana seharusnya dikerjakan?”. Jawaban atas pertanyaan fundamental akan melahirkan juga sesuatu yang fundamental, yaitu tindakan perubahan yang fundamental. Reenginering berarti memulai sesuatu dari awal, tanpa asumsi dan pertama menentukan apa yang harus dilakukan oleh perusahaan kemudian bagaimana cara melakukannya.
    2. Radikal
    Radikal diserap dari bahasa latin ”radix” yang berarti akar. Desain radikal dari proses bisnis berarti mendesain ulang sesuatu sampai ke akarnya, tidak memperbaiki prosedur yang sudah ada dan berusaha melakukan optimasi. Menurut Hammer, desain radikal berarti mengabaikan seluruh struktur dan prosedur yang sudah ada dan menemukan cara baru yang benar-benar berbeda dengan sebelumnya dalam menyelesaikan pekerjaan. Reengineering bukan merupakan business improvements, atau business enchacement, atau pun business modification, tetapi mengenai business reinvention.
    3. Dramatis
    Reengineering bukanlah suatu usaha mencapai perbaikan sedikit demi sedikit dan bertahap yang bersifat marginal atau incremental, tetapi merupakan usaha mencapai lompatan besar dalam perbaikan dan peningkatan performansi perusahaan. Tiga jenis perusahaan yang memerlukan reengineering adalah sebagai berikut:
    a. Perusahaan yang berada dalam kesulitan besar.
    b. Perusahaan yang belum mengalami kesulitan, tetapi mengantisipasi akan mengalami kesulitan.
    c. Perusahaan yang tidak mengalami kesulitan, tetapi justru berada pada puncak kerjanya.

    4. Proses-proses
    Orientasi pada proses merupakan kata kunci terpenting dalam definisi reengineering, tetapi merupakan hal yang memberikan kesulitan besar bagi para manajer. Kebanyakan pelaku bisnis tidak berorientasi pada proses, tetapi pada tugas, pekerjaan, orang, dan struktur.



    Dasar Reengineering
    Dasar reengineering adalah perubahan dunia usaha baru yang didasarkan pada 3 (tiga) kekuatan utama yang oleh Michael Hammer disebut sebagai 3C, yaitu Customers (pembeli), Competition (Kompetisi) dan Change (Perubahan). Ketiga kekuatan ini merubah dunia usaha sehingga diperlukan perancangan ulang proses bisnis. Customers (Pembeli)
    • Kekuatan yang dominan dalam hubungan penjual dan pembeli telah berubah, dimana kekuatan sekarang terletak pada pembeli. Pembeli yang menentukan penjual apa yang mereka inginkan, kapan, bagaimana, dan kapan akan dibayarkan.
    • Pasar besar dengan pelanggan tunggal dan homogen tidak ada lagi, yang ada adalah pelanggan dengan pilihan-pilihan mereka untuk kebutuhan-kebutuhan khusus dan tertentu. Pasar yang besar telah terdiferensiasi menjadi pasar dengan pelanggan individu.
    • Setiap orang dapat saja mendapatkan informasi dari mass media surat kabar, majalah, televisi, telepon, jaringan komputer sehingga dapat mengetahui siapa yang memberikan tawaran atau pelayanan terbaik.
    Competition (Persaingan)
    Dulu perusahaan dapat menjual dalam berbagai pasar yang berbeda dengan basis kompetisi yang berbeda. Pada satu pasar perusahaan mendasarkan basis kompetisi pada harga, sedang pada pasar yang lain basis kompetisi didasarkan pada pilihan, kualitas, ataupun pelayanan. Dengan runtuhnya penghalang dalam perdagangan antar negara (antar pasar) maka tidak ada lagi basis kompetisi lokal yang terlindungi dari para pesaing luar. Ketika semua perusahaan bersaing dalam pasar yang sama maka hanya yang terbaiklah yang dapat memenangkan persaingan. Teknologi berperan dalam mengubah persaingan. Teknologi informasi misalnya memungkinkan perusahaan yang menghasilkan produk dan perusahaan yang memasarkan produk menggabungkan sistem persediaan dan distribusi mereka. Hal ini akan meningkatkan ketergantungan diantara kedua perusahaan tersebut, yang seakan- akan bergabung sehingga peserta dalam kompetisi meningkat kemampuannya dalam bersaing.
    Change (Perubahan)
    Dengan adanya perubahan tingkat globalisasi ekonomi, perusahaan- perusahaan akan menghadapi jumlah pesaing yang lebih banyak, yang masing-masing bersaing untuk meluncurkan inovasi produk maupun layanan jasa ke pasaran. Kecepatan perubahan teknologi akan meningkatkan kecepatan berinovasi yang mengakibatkan siklus hidup produk semakin singkat yang kemudian berimplikasi pada waktu pengembangan dan peluncuran produk baru yang menjadi semakin pendek.

    Critical Success Factors Dalam Proyek Rekayasa ulang
    Menurut Andrews dan Susan (1994:15), tidak banyak proyek rekayasa ulang yang dapat mencapai semua tujuannya. Untuk dapat mencapai keberhasilan dalam melaksanakan proyek rekayasa ulang dibutuhkan strategi yang mengandung critical success factors berikut ini:
    Fokus dalam seluruh dimensi bisnis
    Rekayasa ulang bukan sekedar rancang ulang proses atau menyusun ulang struktur organisasi atau juga lebih dari pengenalan teknologi baru. Kesksesan rekayasa ulang tergantung pada integrai dari proses, teknologi dan organisasi ditambah dukungan yang terintegrasi dalam nilai-nilai dan infrastuktur baru.
    Metodologi dan pendekatan proyek
    Metodologi yang dipakai harus sistematis dan berfokus pada kenyataan. Hal ini lebih dari sekedar merubah struktur organisasi atau posisi pekerjaan. Metodologi membutuhkan kerjasama antara anggota organisasi untuk keuntungan jangka panjang dan kesehatan seluruh organisasi. Metodologi harus dinyatakan secara mendetail, dapat dijalankan dan merupakan rencana yang dapat dirunut ulang dalam implementasinya.
    Waktu,
    Rekayasa ulang proses bisnis membutuhkan waktu. Aktifitas awal mendesain proses bisnis membutuhkan waktu enam sampai delapan minggu. Sedangkan implementasi desain baru, pengujian alternatif- alternatifnya dan sistem pendukungnya, merupakan suatu proses iterasi yang membutuhkan waktu dua tahun atau lebih.
    Partisipasi dari seluruh organisasi
    Rekayasa ulang proses bisnis tidak dapat dilakukan hanya oleh tiga atau empat orang yang ahli saja. Proyek ini adalah pekerjaan teamwork. Menciptakan partisipasi yang efektif dalam rekayasa proses bisnis membutuhkan grup yang fleksibel dan terlatih. Dan salah satu kunci sukses teamwork ini adalah pelatihan. Selain itu keberhasilan dan kemajuan tim harus ditunjang oleh adanya sarana dan prasaran yang memadai.
    Pemimpin yang aktif.
    Hal ini adalah critical success factor yang paling penting. Para eksekutif dan manajer dalam organisasi harus menunjukkan komitmen jangka panjang mereka daam melakukan rekayasa ulang proses bisnis. Pola kepemimpinan yang baik dimulai pada saat para manajer mulai meninggalkan krisis manajemen dan mulai memberikan energi baru bagi organisasi. Selain itu mulai menumbuhkan orientasi pembelajaran daripada melakukan pendekatan yang orientasinya hanya menyalakan bawahan.

    References :

    1. Andrews, C.D., & Susan, K.S., 1994, Business Reengineering: The Survival Guide, Yourdon Press, Prentice-Hall Inc, Englewood Cliffs, New Jersey, USA.
    2. Burlton, R.T., 2001, Business Process Management: Profiting From Process, Sams Publishing, Indianapolis, Indiana, USA.
    3. Chang, R.Y., 1999, Peningkatan Proses Berkesinambungan, PT.Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta.
    4. Federal Information Processing Standards Publication (FIPSP) 183, 1993, Integration Definition for Function Modeling (IDEFØ), Air Force Wright Aeronautical Laboratories, Air Force Systems Command, Wright-Patterson Air Force Base, Ohio 45433, USA.
    5. IDS Scheer AG, Whitepaper – June 2005, Bussiness Process Management – ARIS Value Engineering Concept, Inventory Number BMP0605-E-WP, Saarbrüecken, Germany (http://www.ids-scheer.com), (2006, Mei 31)
    6. IDS Scheer AG, 2001, Successful Management of ARIS Project, Germany (http://www.ids-scheer.com), (2006, Mei 31)
    7. Indrajit, R.E., dan R.Djokopranoto, 2002, Konsep dan Aplikasi Business Process Reengineering: Strategi Meningkatkan Kinerja Bisnis secara Dramatis dan Signifikan, Grasindo, Jakarta.
    8. International Business Machiness Corporation (IBM), 1984, Business System Planning, Fourth Edition, IBM.
    9. Institute of Industrial Engineers, 1993, Business Process Reengineering: Current Issues and Aplications, Industrial Engineering and Management Press, Norcross, Georgia, USA.
    10. Malhotra, Y. 1998, "Business Process Redesign: An Overview IEEE Engineering Management Review, Vol. 26, no. 3", (URL: http://www.kmbook.com/bpr.htm). (2004, Oktober 14)
    11. Peppard, J. dan Rowland, P., 1995, The Essence of Business Process Reengineering, Prentice Hall, London.
    12. Scheer, A.W., 1994, Business Process Engineering – Reference Models for Industrial Enterprises, Second Edition, Spinger-Verlag Berlin, Germany.
    13. Wibowo, M., 2004, Efisiensi Perusahaan melalui Penerapan
    14. Manajemen Proses Bisnis, Grasindo, Jakarta.
    15. Doni Adriansah, Penerapan Sederhana Business ProcessReengineering Dalam Dunia Manufaktur.


      Translate

      English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
      by : donijaua

      Mengenai Saya

      Foto saya
      Lahir di Sidoarjo,Alumni UI (Universitas Indonesia-Industrial Engineering), dan ITS Surabaya (Power Electrical). Th 1996-1997 di vendor JVC SBY. Th 1997-2006 di PT. Mulia Industrindo sebagai Sr Prod.SPV, Chief Secretary PSM (Process Safety Management), peserta Workshop Implementasi Lean Manufacture selama 4 th yg di sponsori oleh Pemerintah RI (Deperindag) Negara Japan (JODC/Japan Organization for Development Country) dari Toyota Corp Nagoya Japan Mazda Japan. Th 2006-2008 Manager at Group TRIPUTRA. Finalis Suggestion System pd Forum Komunikasi Mutu. Ketua Komite 6S, Kaizen Blitz. Th 2008 s/d 2010 group perusahaan Tiga Pilar sebagai Business Development & Industrial Engineering. Th 2010 - 2012 Manager at DB Encosys. 2012 - Now Manager at MKA Group Specialist in Coldchain Distribution. Certification: Six Sigma for Green Belt, Toyota Production System (TPS), Production Management (PQM), Practical Problem Solving Decision Making (PQM), Konvensi Tingkat Nasional (GKM). Menjabat Ketua RT perum Kt Legenda BKS, Ketua Ranting IPNU 1994, Pendiri organisasi Moss Nature lover BKS,Ketua Karang Taruna 2004. Juga menggeluti Entrepreneur (Batik).

      Waktu Berharga

      Kalender Kita

      Weather

      Berita Kini

      More..

      My Bloglog

      Powered By Blogger

      Pengikut

      Cari Blog Ini