Berbicara tentang politik, ternyata bisa dimana saja, baik itu dalam organisasi ataupun lingkungan masyarakat. Sebagai seorang pekerja nuansa politik juga membelenggu dalam lingkungan ini, baik di ruang makan, jemputan, bahkan ruang kerja yang kemudian menjadi hubungan tertutup. Hubungan tersebut sangat erat satu sama lain, dimana mereka berbagi gossip dan fakta, menunjukkan sikap subjektif dalam melihat masalah dan bahkan mempengaruhi penunjukan dan pemilihan anggota team atau kelompok tertentu. Ibaratnya kalau dalam perkumpulan ada lebih dari dua orang karyawan dalam satu tim, pasti ada politiknya yang bermain. Porsi dari arus politik bisa tergantung kedudukan seseorang, semakin tinggi jabatan seseorang belenggu politik yang bermain semakin besar pula. Cuma kadang orang berpikir bahwa bermain politik itu kotor dan menjijikan, padahal kalau kita cermati, bahwa kadang berpolitik sangat diperlukan, karena hal ini bagian dari synergy dan kerjasama. Politik kantor sering ditangapi “alergik”, pada kenyataanya tidak pernah punah, bahkan merupakan realita. Kita sering tidak bersimpati dengan seseorang yang “sok bener” tertutama didepan atasan, bahkan tega menyingkirkan semua orang yang dianggap tidak benar, apalagi membahayakan kedudukannya. Ada juga individu yang tidak kita sukai kareana dia pandai sekali memanfaatkan power dan bisa membuat ketergantungan atasan atau perusahaan kepadanya, sehingga pada “timing” yang tepat, ia bisa unijuk gigi atau bermain dengan “bargaining” powernya.
Mengapa situasi berpolitik seperti ini menjengkelkan orang-orang yang berada diluar permainan? Beberapa pengamat mengatakan bahwa politik kantor ini menjadi kelihatan nyata pada lembaga yang kekuatan SDM nya tidak berimbang, misalnya banyak banyak karyawan yang produktif dan banyak juga karyawan yang tidak produktif atau malas. Maka timbulah istilah “like & dislike” diantara mereka karena standar kinerja yang sulit dibuktikan apalagi dihitung, juga adanya job description yang tidak seimbang dan tidak jelas, yang kesemuanya bisa membangkitkan rasa tidak aman dalam bekerja. Rasa tidak aman ini terutama akan lebih terasa lagi, pada orang yang sama sekali tidak mau “bermain” dan juga tidak menyadari apalagi tahu cara mainnya. Politik kantor memang sangat subjektif dan informal, inilah sebabnya hal itu terasa tetapi sulit diraba dan teraga.
Menurut berbagai informasi yang diterima, bahwa kegiatan lobby melobby, serta kegiatan-kegiatan lain dalam acara pertemuan informal bisa merubah sebuah operating system yang sudah ada, karena hal ini bisa dijadikan kendaraan untuk menonjolkan potensi pribadi yang mana bisa menghasilkan sebuah kinerja yang benar-benar luar biasa, walaupun dengan cara kasak-kusuk, bujuk-membujuk, sikap super baik, dan mendekati orang-orang kunci, karena tanpa hal ini tidak akan mungkin berhasil melakukan perubahan besar tanpa adanya dukungan. Karena tanpa melakukan hal ini kita tidak akan menghasilkan apa-apa dalam arti sebuah kinerja yang memuaskan.
Untuk survive dilingkungan organisasi kita memang perlu kuat dan berakar, serta tahu apa yang kita mau. Kita bisa menyasar hal-hal material, kita bisa juga mementingkan karir, kinerja dan peningkatan kompetensi, sementara orang lain ada yang memburu keterlibatannya dalam kelompok tertentu, power atau control terhadap situasi. Namun berdiam diri dan berharap bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan system yang ada, memang hampir tidak mungkin. Kita perlu tahu dimana pusat kekuatan, siapa orang yang berpengaruh dan bisa mempengaruhi lingkungan sosial. Kita pun perlu bisa melicinkan upaya kita melalui pendekatan. Sepanjang kita bersikap fair, tidak manipulative, dan curang. Melobby, mempersuasi dan berpolitik memang harus dilakukan. Sikap negative seperti yang kita kenal misalnya “system kodok”, yaitu menyembah keatas sementara menendang kebawah, tentunya adalah gaya yang tidak anggun dan tidak dilakukan oleh orang yang tahu berpolitik dengan baik.
Dalam dunia nyata bahkan untuk level-level tinggi dijumpai juga bahwa tentang prosedur recruitment menganut system keluarga dan pertemanan. Hal ini menyangkut siapa dekat dengan siapa, siapa mempunyai pandangan yang sama dengan yang mana, siapa pemain kunci san siapa sekedar pengikut atau penggembira. Jejaring pertemanan yang berdasarkan kedekatan, almamater, kesamaan pandangan dan ideology biasanya merupakan lahan berpolitik, baik di perusahaan maupun organisasi lainnya. Sama seperti strategi perang, berpolitikpun memerlukan pemetaan dan perencanaan yang mapan.
Dari pengamatan para ahli, orang yang kuat dalam perusahaan dan organisasi biasanya memang bukannya tidak berstrategi, mereka juga “political savvy”. Orang-orang ini tahu bagaimana berhubungan dengan atasan, bahkan mendukung atasanya yang sukses. Bersamaan denga upaya itu, seseorang yang tahu berpolitik pasti berupaya untuk selalu tampil di rapat-rapat penting, tahu mendekati orang-orang kunci, menunjukkan “corporate manners” yang baik, dan menampilkan kemampuannya sebagi “team player”.
Dalam organisasi apapun, kita hanya bisa eksis bila mempunyai kontribusi yang signifikan. Bila kita amati orang yang pandai melobby dan berpolitik, sementara produktivitasnya kosong, maka orang ini lambat laun tidak bisa meneruskan karirnya. Kekuatan kita adalah produktivitas diri merupakan modal agar kita bisa diperhitungkan dalam peta social organisasi. Individu yang produktivitasnya diatas rata-rata tinggal mengasah cara berinteraksi, bergau, berapat, mendekati atasan dan orang-orang kunci, serta membuat diri lebih diperhitungkan dengan berusaha lebih bermain fakta, membina hubungan emosional yang sehat, berusaha menonjolkan orang lain tanpa lupa memunculkan diri sendiri. Kontribusi yang sudah kita tunjukkan jangan sampai dikotori dengan mempraktekan cara gaul yang murahan seperti bergosip, menekan, menyalagunakan jabatan, mencari muka tanpa alasan yang jelas. Dan jangan lupa kesuksesan bukanlah suatu kebetulan atau bahkan hadiah, tetapi sukses itu lahir dari suatu perencanaan yang matang dan didukung oleh team yang kokoh, target yang jelas dan mendapat komitmen dari semua lapisan, serta dilakukan dengan kerja keras secara terus menerus, yang mana semuanya harus dimulai dengan niat yang baik dan jujur.
Mengapa situasi berpolitik seperti ini menjengkelkan orang-orang yang berada diluar permainan? Beberapa pengamat mengatakan bahwa politik kantor ini menjadi kelihatan nyata pada lembaga yang kekuatan SDM nya tidak berimbang, misalnya banyak banyak karyawan yang produktif dan banyak juga karyawan yang tidak produktif atau malas. Maka timbulah istilah “like & dislike” diantara mereka karena standar kinerja yang sulit dibuktikan apalagi dihitung, juga adanya job description yang tidak seimbang dan tidak jelas, yang kesemuanya bisa membangkitkan rasa tidak aman dalam bekerja. Rasa tidak aman ini terutama akan lebih terasa lagi, pada orang yang sama sekali tidak mau “bermain” dan juga tidak menyadari apalagi tahu cara mainnya. Politik kantor memang sangat subjektif dan informal, inilah sebabnya hal itu terasa tetapi sulit diraba dan teraga.
Menurut berbagai informasi yang diterima, bahwa kegiatan lobby melobby, serta kegiatan-kegiatan lain dalam acara pertemuan informal bisa merubah sebuah operating system yang sudah ada, karena hal ini bisa dijadikan kendaraan untuk menonjolkan potensi pribadi yang mana bisa menghasilkan sebuah kinerja yang benar-benar luar biasa, walaupun dengan cara kasak-kusuk, bujuk-membujuk, sikap super baik, dan mendekati orang-orang kunci, karena tanpa hal ini tidak akan mungkin berhasil melakukan perubahan besar tanpa adanya dukungan. Karena tanpa melakukan hal ini kita tidak akan menghasilkan apa-apa dalam arti sebuah kinerja yang memuaskan.
Untuk survive dilingkungan organisasi kita memang perlu kuat dan berakar, serta tahu apa yang kita mau. Kita bisa menyasar hal-hal material, kita bisa juga mementingkan karir, kinerja dan peningkatan kompetensi, sementara orang lain ada yang memburu keterlibatannya dalam kelompok tertentu, power atau control terhadap situasi. Namun berdiam diri dan berharap bahwa segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan system yang ada, memang hampir tidak mungkin. Kita perlu tahu dimana pusat kekuatan, siapa orang yang berpengaruh dan bisa mempengaruhi lingkungan sosial. Kita pun perlu bisa melicinkan upaya kita melalui pendekatan. Sepanjang kita bersikap fair, tidak manipulative, dan curang. Melobby, mempersuasi dan berpolitik memang harus dilakukan. Sikap negative seperti yang kita kenal misalnya “system kodok”, yaitu menyembah keatas sementara menendang kebawah, tentunya adalah gaya yang tidak anggun dan tidak dilakukan oleh orang yang tahu berpolitik dengan baik.
Dalam dunia nyata bahkan untuk level-level tinggi dijumpai juga bahwa tentang prosedur recruitment menganut system keluarga dan pertemanan. Hal ini menyangkut siapa dekat dengan siapa, siapa mempunyai pandangan yang sama dengan yang mana, siapa pemain kunci san siapa sekedar pengikut atau penggembira. Jejaring pertemanan yang berdasarkan kedekatan, almamater, kesamaan pandangan dan ideology biasanya merupakan lahan berpolitik, baik di perusahaan maupun organisasi lainnya. Sama seperti strategi perang, berpolitikpun memerlukan pemetaan dan perencanaan yang mapan.
Dari pengamatan para ahli, orang yang kuat dalam perusahaan dan organisasi biasanya memang bukannya tidak berstrategi, mereka juga “political savvy”. Orang-orang ini tahu bagaimana berhubungan dengan atasan, bahkan mendukung atasanya yang sukses. Bersamaan denga upaya itu, seseorang yang tahu berpolitik pasti berupaya untuk selalu tampil di rapat-rapat penting, tahu mendekati orang-orang kunci, menunjukkan “corporate manners” yang baik, dan menampilkan kemampuannya sebagi “team player”.
Dalam organisasi apapun, kita hanya bisa eksis bila mempunyai kontribusi yang signifikan. Bila kita amati orang yang pandai melobby dan berpolitik, sementara produktivitasnya kosong, maka orang ini lambat laun tidak bisa meneruskan karirnya. Kekuatan kita adalah produktivitas diri merupakan modal agar kita bisa diperhitungkan dalam peta social organisasi. Individu yang produktivitasnya diatas rata-rata tinggal mengasah cara berinteraksi, bergau, berapat, mendekati atasan dan orang-orang kunci, serta membuat diri lebih diperhitungkan dengan berusaha lebih bermain fakta, membina hubungan emosional yang sehat, berusaha menonjolkan orang lain tanpa lupa memunculkan diri sendiri. Kontribusi yang sudah kita tunjukkan jangan sampai dikotori dengan mempraktekan cara gaul yang murahan seperti bergosip, menekan, menyalagunakan jabatan, mencari muka tanpa alasan yang jelas. Dan jangan lupa kesuksesan bukanlah suatu kebetulan atau bahkan hadiah, tetapi sukses itu lahir dari suatu perencanaan yang matang dan didukung oleh team yang kokoh, target yang jelas dan mendapat komitmen dari semua lapisan, serta dilakukan dengan kerja keras secara terus menerus, yang mana semuanya harus dimulai dengan niat yang baik dan jujur.